oleh Ervinta Astrining Dewi
Ketika
berkata tentang ruang atau pun waktu, orang pada umumnya akan membawa
pikirannya kedalam definisi ruang dan waktu secara formal. Namun akan berbeda
dengan seseorang yang telah memiliki pengalaman dan kesempatan belajar filsafat
atau telah mendengar dari beberapaobrolan dari pengalaman yang lebih dalam.
Sehingga terkadang seorang yang awam akan berbeda guyonannya dengan orang yang
sudah memiliki ilmu yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh ruang dan waktu.
Bahasan pada perkuliahan kali ini lebih pada kaitannya terhadap menembus ruang
dan waktu. Bagaimana menembus ruang dan waktu yang satu dengan ruang dan waktu
yang lain. Yang dimaksud ruang dalam hal ini ada ruang kongkrit, ruang formal,
ruang normatif, maupun ruang spiritual. Selanjutnya jika kita membicarakan
ranah spritual sendiri mencakup yang ada dan yang mungkin ada, ada spritual
kongkrit, spritual material, spritual ruang, spritual formal, spritual
spritual, dan sebagainya. Memahami hal tersebut, mengingat ketika kita
berbicara mengenai ruang dan waktu secara filsafat maka kita akan mengembangkan
secara intensif dan ekstensif.
Berbicara
mengenai orang awam, anak kecil sebagai contohnya mengenal ruang namun dirinya
tidak mengenal melalui definisi ruang itu apa. Anak kecil melihat ruang sebagai
materialnya seperti ruang kelas, mengenal ruang belajar, mengenal ruang uks,
dan sebagainya. Ruang yang dikenal oleh anak kecil itu lebih pada ruang secara
materialnya. Anak mengenal dan mengetahui apa itu ruang namun tidak mampu
menjelaskan secara definitif apa itu ruang, anak mengenal ruang dari
intuisinya. Apabila diekstensikan ruang itu ada banyak ada ruang formal, ruang
material, ruang spiritual, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan pada awalnya
dipahami, dimengerti oleh manusia berasal dari intuisi orang awam. Barulah
kemudian ketika dipelajari lebih lanjut dan lebih dalam dari pengalaman belajar
yang lebih dapat dikemukakanlah definisi. Sehingga tingkatan bahasa dan istilah
dari orang yang satu dengan orang yang lain dapat berbeda pula.
Orang
pada tingkatan tertentu akan memandang makan dipinggir jalan itu sama saja
dengan makan cacing. Karena jajanan pinggir jalan itu tidak jelas asal usul dan
doanya. Namun orang awam akan memandang makanan lebih kematerialnya. Karena
secara intuisi secara naluriahnya makanan adalah makanan, kalau lapar ya makan.
Tetapi juga dari segi filsafat dua-duanya tidak salah namun saling melengkapi.
Karena dasar seorang berilmu itu juga diawali dari intuisinya. Dari intuisinya
dalam belajar dan upayanya mempelajari sesuatu. Bahasanya yang berbeda bukan
berarti hinaan atau merendahkan satu sama yang lain. Namun lebih mengarah pada
menembus ruang dan waktu. Karena bagi yang awam makan dipinggir jalan hanya
nampak dari segi materialnya saja, sedangkan bagi orang yang sudah memiliki
ilmu yang lebih memandang makanan dipinggir jalan dari segi spritual doanya
tidak jelas, dibuatnya tidak jelas, airnya dari mana, dan sebagainya lebih
dalam dan detail menembus ruang dan waktu bagi orang awam tadi. Memikirkan apa
yang ada dan yang mungkion ada yang tidak terpikirkan oleh orang awam tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar