Rabu, 23 Januari 2013

Menggapai Ruang dan Waktu dalam Filsafat Ilmu



oleh Ervinta Astrining Dewi

Ketika berkata tentang ruang atau pun waktu, orang pada umumnya akan membawa pikirannya kedalam definisi ruang dan waktu secara formal. Namun akan berbeda dengan seseorang yang telah memiliki pengalaman dan kesempatan belajar filsafat atau telah mendengar dari beberapaobrolan dari pengalaman yang lebih dalam. Sehingga terkadang seorang yang awam akan berbeda guyonannya dengan orang yang sudah memiliki ilmu yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh ruang dan waktu. Bahasan pada perkuliahan kali ini lebih pada kaitannya terhadap menembus ruang dan waktu. Bagaimana menembus ruang dan waktu yang satu dengan ruang dan waktu yang lain. Yang dimaksud ruang dalam hal ini ada ruang kongkrit, ruang formal, ruang normatif, maupun ruang spiritual. Selanjutnya jika kita membicarakan ranah spritual sendiri mencakup yang ada dan yang mungkin ada, ada spritual kongkrit, spritual material, spritual ruang, spritual formal, spritual spritual, dan sebagainya. Memahami hal tersebut, mengingat ketika kita berbicara mengenai ruang dan waktu secara filsafat maka kita akan mengembangkan secara intensif dan ekstensif.
Berbicara mengenai orang awam, anak kecil sebagai contohnya mengenal ruang namun dirinya tidak mengenal melalui definisi ruang itu apa. Anak kecil melihat ruang sebagai materialnya seperti ruang kelas, mengenal ruang belajar, mengenal ruang uks, dan sebagainya. Ruang yang dikenal oleh anak kecil itu lebih pada ruang secara materialnya. Anak mengenal dan mengetahui apa itu ruang namun tidak mampu menjelaskan secara definitif apa itu ruang, anak mengenal ruang dari intuisinya. Apabila diekstensikan ruang itu ada banyak ada ruang formal, ruang material, ruang spiritual, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan pada awalnya dipahami, dimengerti oleh manusia berasal dari intuisi orang awam. Barulah kemudian ketika dipelajari lebih lanjut dan lebih dalam dari pengalaman belajar yang lebih dapat dikemukakanlah definisi. Sehingga tingkatan bahasa dan istilah dari orang yang satu dengan orang yang lain dapat berbeda pula.
Orang pada tingkatan tertentu akan memandang makan dipinggir jalan itu sama saja dengan makan cacing. Karena jajanan pinggir jalan itu tidak jelas asal usul dan doanya. Namun orang awam akan memandang makanan lebih kematerialnya. Karena secara intuisi secara naluriahnya makanan adalah makanan, kalau lapar ya makan. Tetapi juga dari segi filsafat dua-duanya tidak salah namun saling melengkapi. Karena dasar seorang berilmu itu juga diawali dari intuisinya. Dari intuisinya dalam belajar dan upayanya mempelajari sesuatu. Bahasanya yang berbeda bukan berarti hinaan atau merendahkan satu sama yang lain. Namun lebih mengarah pada menembus ruang dan waktu. Karena bagi yang awam makan dipinggir jalan hanya nampak dari segi materialnya saja, sedangkan bagi orang yang sudah memiliki ilmu yang lebih memandang makanan dipinggir jalan dari segi spritual doanya tidak jelas, dibuatnya tidak jelas, airnya dari mana, dan sebagainya lebih dalam dan detail menembus ruang dan waktu bagi orang awam tadi. Memikirkan apa yang ada dan yang mungkion ada yang tidak terpikirkan oleh orang awam tadi.

Tidak ada komentar: