Minggu, 02 Desember 2012

Mengintip Filsafat Imanuel Kant



Oleh Ervinta Astrining Dewi
Mahasiswa Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012

Pada perkuliahan filsafat Senin, 26 November 2012 yang lalu saya menemukan istilah baru yang tercetus dari dosen saya Bapak prof. Dr. Marsigit yaitu “Mengintip belajar filsafat”. Kata-kata tersebut nampaknya yang paling membekas dari perkuliahan beliau kemarin. Mengingat sebelumnya telah beliau sampaikan bahwa belajar filsafat bisa dari sumber primer yaitu langsung dari pemikirnya, contohnya dengan membaca buku karya Immanuel Kant. Akan menjadi sumber skunder ketika saya belajar dari Bapak Marsigit yang membaca dari sumber Immanuel Kant, namun akan menjadi sumber tertier ketika Bapak Marsigit itu menjelaskan filsafat Immanuel Kant dari buku nya Plato, dan seteruysnya. Sedangkan kuliah kemarin istilah baru Beliau kita baru “mengintip” saja dari orang yang belajar filsafat Imanuel Kant yaitu melihat dari folder laptop dan mendengarkan bapak Marsigit membaca dan menjelaskan buku Immanuel Kant yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Mengapa dikatakan mengintip? Menurut beliau ketika kita belajar maka seorang akan mengulang-ulang agar paham. Sedangkan ketika seorang paham berarti orang tersebut sudah dapat memberikan contohnya, sehingga tidak salah juga ketika perkuliahan kemarin dikatakan baru “mengintip” saja.
Belajar sendiri mempunyai tingkatan, maka dalam ranah filsafat dapat dikatakan bahwa belajar juga berdimensi. Sewaktu SMA, S1 orang belajar filsafat biasanya disamakan dengan membaca buku teori-teori filsafat, tokoh-tokoh, dan sebagainya. Namun untuk tingkatan lebih lanjut belajar dapat memiliki tingkatan yang lebih karena orang dikatakan paham apabila dirinya sudah dapat memberikan contoh. Sehingga “mengintip Filsafat Imanuel Kant” di sini bukanlah hal yang memalukan karena untuk memahami pemikiran filsuf jaman dahulu sudah diketahui tidak mudah, karena fleksibilitas ilmu kita terkadang sudah tertutup oleh idealisme dari pengetahuan yang telah kita pelajari sebelumnya, sedangkan ternyata Filsafat mencakup yang ada dan yang mungkin ada, sehingga pantas sajalah jika “Mengintip” di sini juga berdimensi, karena ilmu yang kita pelajari nampaknya masih tidak cukup untuk mendefinisikan filsafat. Meski sudah banyak sumber yang telah kita baca dan pelajari ternyata masih sedikit apabila kita mau mencoba menengok lebih dalam dan terus belajar, ternyata masih ada saja yang belum kita pelajari, belum kita ketahui, dst. Berikut ini beberapa kutipan Filsafat Immanuel Kant dari buku pertamanya Kritik atas Rasio Murni.
Immanuel Kant merupakan filosof zaman modern yang mencoba mengkritisi pemikiran yang sedang berkembang pada masanya, yaitu antara pemikiran Rasionalisme yang berkembang di Jerman dan Empirisme yang berkembang di Inggris. Keduanya mengklaim bahwa masing-masing merupakan yang paling benar dalam epistimologi. Nmaun Immanuel Kant mengambil jarak pada keduanya dan filsafatnya lebih mengkaji pada batas-batas kemampuan rasio manusia sehingga filsafat Imanuel Kant disebut kritisisme yaitu penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori rene Descartes dan  Empirisme yang dipelopori oleh David Hume.
Imanuel Kant menyatakan rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang berada dalam jangkauan ruang dan waktu, sementara sesuatu yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Sehingga lebih cenderung memberikan batas-batas kemampuan rasio secara obyektif untuk memberikan tempat bagi iman dan kepercayaan. Dalam bukunya The Critique of pure Reason / kritik atas Rasio Murni, Kant menunjukkan bahwa rasio mampu menganalisa, karena rasio memiliki aspek apriori, yakni sesuatu yang diandaikan ada. Aspek apriori tersebut adalah ruang, waktu dan dua belas aspek rasio yang antara lain berupa kuantitas, kualitas, dan kausalitas. Semua itu disebut apriori, karena hanya bisa diketahui secara intuitif, bukan melalui pengalaman inderawi. Misal, angka 0,1,2,3, dst hanyalah perwujudan empiris dari pengetahuan intuitif manusia tentang kuantitas.
Adapun proporsi yang sering disebut oleh Imanuel Kant adalah sintetik dan analitik. Analitik merupakan identitas dari hal yang ada dan mungkin ada sehingga dapat dituliskan sebagai subjek = predikat. Masalah analitik sulit sekali diberikan contohnya namun hal tersebut menunjukkan bahwa sesuatu itu benar hanya ketika dipikirkan dan akan salah ketika sudah dituliskan, sehingga jenis pengetahuan ini menurut Kant sulit untuk memahami realitas. Sedangkan sintetik merupakan kekontradiksian sehingga subjek tidak sama dengan predikat, yaitu jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Contoh sintetik adalah “suhu badan normal adalah 37oC”. Subjek dari pernyataan tersebut adalah suhu badan normal sedangkan predikatnya telah tersintesiskan sehingga terbentuk suatu proporsi baru. Proporsi merupakan hal yang baru sehingga belum diketahui kebenarannya. Agar proporsi tersebut dapat diketahui kebenarannya maka harus diketahui dengan pembuktian dan pengalaman.
Selain itu terdapat dua kebenaran menurut Imanuel Kant yaitu a priori dan a posteriori. Kebenaran apriori merupakan suatu keyakinan yang timbul berdasarkan suatu pendapat/ definisi yang sudah ada dan sudah dinilai benar oleh semua orang. Contoh dalam matematika 4+5=9. Sedangkan kebenaran a posteriori yang sering disebut kebenaran berdasarkan pengalaman. Contohnya: Kalau tidak mandi badan akan gatal. Pada kebenaran aposteriori ini predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, ada orang yang yang tidak mandi tapi badannya tidak gatal. Karenanya Kant mengajarkan jenis putusan lain yaitu berupa sintetis apriori, yaitu jenis putusan yang akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar.

Refleksi Menggapai Benang Merah Filsafat



Sepanjang perkuliahan filsafat ilmu telah banyak hal yang dibaca dan dipikirkan, namun apabila kita kaji lebih dalam secara ektensif dan intesif lagi mengenai filsafat ternyata masih banyak hal yang belum kita pahami, belum kita baca, belum kita pikirkan dan sebaginya. Hal ini lah yang dinamakan kesadaran kita akan ruang filsafat, karena filsafat sendiri merupakan sesuatu yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sama halnya ketika kita akan mendefinisikan filsafat, mungkin sampai sekarang kita masih belum mampu mendefinisikan filsafat itu. Masalah yang sering muncul dikatakan oleh bapak Maarsigit adalah seberapa banyak kah kebutuhan kita untuk mengetahui filsafat. Misal untuk berfilsafat matematika apakah seorang itu harus purna belajar matematikanya? Apakah seorang yang akan berfilsafat pendidikan harus purna memahami tentang pendidikan? Beberapa pertanyaan mengenai masalah di atas dijelaskan oleh bapak Marsigit layaknya sebuah kontradiksi menurut saya. Namun demikian, hal tersebut juga membukakan mata saya mengenai perkuliahan sebelumnya bahwa “apalah daya hidup ini juga adalah kontradiksi”.
Menurut beliau apabila seorang itu hendak berfilsafat, maka tidaklah perlu dia harus menguasai secara menyeluruh terlebih dahulu. Namun demikian akan menjadi masalah ketika ilmu yang dikuasainya sedikit, misalnya saja dalam berfilsafat matematika sendiri akan bermasalah ketika pengetahuan tentang matematikanya sedikit. Apabila seorang itu sudah purna dalam mempelajari ilmu bidangnya maka ketika berfilsafat maka filsafatnya akan baik, meskipun demikian dijelaskan pula ketika ilmu bidang seseorang itu sudah purna maka fleksibilitasnya menjadi lebih rendah dalam merefleksikan ilmunya. Karenanya menggapai “cukup” dalam berfilsafat ini adalah hal yang gampang-gampang susah. Maka dalam mempelajari filsafat sendiri adalah metode hidup yang biasa disebut dengan hermeneutika. Dalam hal ini menurut beliau mempelajari filsafat dengan metode hermeneutika seperti lingkaran yang diberi garis vertikal sehingga mengulang-mengulang-mengulang terus dan juga dikembangkan-dikembangkan-dikembangkan dan seterusnya bagai spiral. Secara tersirat dapat ditangkap bahwa dalam berfilsafat berarti kita harus selalu belajar dan belajar, berlatih dan berlatih dengan segala kerendahan diri. Senada dengan filsafat Kant yang menurutnya berupa penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat pada iman dan kepercayaan. Sehingga senantiasa sebagai manusia kita harus selalu belajar dan rendah hati mengenai batasan-batasan kemampuan rasio kita. Inilah sebuah bentuk kesadaran filsafat. Sehingga untuk mempelajari filsafat diperlukanlah pikiran kritis, karena filsafat sendiri juga merupakan olah pikir yang refleksif.
Adapun ulama atau pendeta yang baik keilmuaan agamanya dan filsafatnya terkenal, maka dikenal lah namanya dan karyanya dibukukan dikenal sebagai filsuf-filsuf ternama atas sumbangan pemikirannya. Perkembangan filsafat dimulai dari zaman Yunani, mereka tertarik mengenai mengenai benda diluar dirinya, sehingga mereka tertarik untuk mengetahui segala sesuatu itu terbuat dari apa? Atau unsur-unsur dasar dari benda-benda sekitar, maka munculah pemikir-pemikir dengan teori-teorinya. Selanjutnya setelah merasa cukup meskipun belum tuntas kemudian beralihlah ketertarikannya dengan lebih melihat pada diri manusia itu sendiri. Mulai dipikirkan apa itu bijaksana, baik apa itu buruk, adil, jujur, dsb. Pada masa inilah muncullah tokoh-tokoh seperti socrates, bahkan muncullah Protagoras yang mengatakan bahwa ukuran dar segala sesuatu adala manusia. Pada masa ityu belum ada agama sekitar 3000 SM. Kemudian waktu berjalan demikian muncul pemikiran tentang penerapan-penerapan pada tatanegara, sosial dan sebagainya, sehingga Plato membuat buku “Republika” mengenai tata kenegaraan. Sehingga praktek pertama ketatanegaraan itu pada zaman Yunani. Pada masa itu pemikiran-pemikiran masih netral tidak terbebani oleh kepentingan-kepentingan poilitik tertentu.
Mulai abad ke-13 pada perkembangan gereja, seolah-oleh kebenaran itu adalah atas kuasa atau ijin dari gereja. Salah satu kebenaran saat itu adalah bumi adalah pusat alam semesta. Sehingga ketika muncul pemikiran baru oleh Copernicus bahwa matahari sebagai pusat tata surya menjadi sesuatu yang luar biasa yang dianggap memalukan, menjatuhkan kredibilitas sehingga kalau bisa pemikir baru itu dikejar, diburu, dibunuh, dan di bakar bukunya. Namun namanya pemikiran itu larinya secepat angin sehingga tetap saja tidak dapat benar-benar diberantas. Sampai sekarang secara scientist bahwa mataharilah sebagai pusat tata surya. Ilmu ini dibuktikan dengan adanya pengembangan sampai manusia bisa keluar angkasa, dsb.
Revolusi oleh revolusi Copernicus ini sebagai awal dari perkembangan filsafat modern. Sehingga muncul tokoh-tokoh dan pemikiran Rasionalisme dan Empirisme. Demikian perkembangannya sehingga ada Empirisme di daratan Eropa dan Empirisme di daratan Inggris. Demikian pula ada rasionalisme di daratan Eropa dan rasionalisme didaratan Inggris. Untuk mengkaji dan memahami mengenai dua aliran  filsafat ini maka diperlukan pikiran kritis karena telah kita ketahui bahwa filsafat adalah olah pikir. Perkembangan dua pemikiran ini juga berpengaruh pada hubungan antar negara dan pemikiran dasar dari suatu negara. Sejarah perkembangannya ini berpengaruh pada perkembangannya sampai sekarang ini.

Minggu, 04 November 2012

HOTS (Higher Order Thinking Skills)



Menurut A. Thomas dan G. Thorne Higher Order Thinking is thinking on higher level than memorizing facts, restating facts, or applying rules/formulas/procedures. HOTS requires that we do something with the facts. We must understand them, connect them to each other, categorize them, manipulate them, put them together in new or novel ways, and apply them as we seek new solutions to new problems.

Menurut Stanley Pogrow (1996) HOTS adalah program kreatif yang dirancang untuk membangun kemampuan berpikir siswa pendidikan kurang beruntung di kelas 4-7  dengan menggabungkan penggunaan komputer, drama, dialog Sokrates, dan kurikulum rinci untuk merangsang proses berpikir dimana Komputer tidak digunakan untuk menyajikan konten, melainkan untuk siswa intrik dan membuat mereka terlibat. Drama, dalam bentuk guru bermain-akting-kadang dalam kostum-juga merangsang minat siswa dan rasa ingin tahu. Beberapa hari guru dapat menyajikan pelajaran sebagai situasi misterius yang membantu siswa diperlukan. Kurikulum HOTS terdiri dari rinci, menit 35, pelajaran sehari-hari yang mengkoordinasikan kegiatan komputer dengan percakapan kelas, dan memastikan bahwa guru menanyakan jenis pertanyaan yang meningkatkan perkembangan otak dan kemampuan berpikir. Jenis-jenis utama dari keterampilan berpikir bahwa kurikulum ini dirancang untuk mengembangkan adalah metakognisi (kemampuan untuk secara sistematis menerapkan dan mengartikulasikan strategi) dan generalisasi (kemampuan untuk menerapkan belajar di luar konteks tertentu). Siswa tanpa keterampilan ini melihat segala sesuatu di sekitar mereka baik sebagai kejadian acak, tanpa sebab, atau sebagai hal-hal yang benar hanya dalam konteks di mana mereka pelajari.

Sebuah studi baru-baru ini (Darmer 1995 dalam Stanley Progrow 1996) menunjukkan peningkatan simultan oleh siswa HOTS dalam enam kategori: keterampilan dasar, keterampilan menulis, keterampilan metakognisi, nilai rata-rata, IQ komponen kunci, dan kemampuan untuk memecahkan masalah baru. Para siswa HOTS mengungguli kelompok pembanding siswa di masing-masing daerah, meskipun siswa perbandingan menghabiskan lebih banyak waktu di dalam kelas.

Secara umum, keterampilan berfikir terdiri atas empat tingkat, yaitu:  menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking) dan kreatif (creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1999 dalam Idris Harta 2008). Menghafal adalah tingkat berpikir paling rendah. Ketrampilan ini hampir otomatis atau refleksif sifatnya. Tingkat berpikir selanjutnya disebut sebagai ketrampilan dasar. Ketrampilan ini meliputi ketrampilan memahami konsep-konsep penjumlahan dan pengurangan. Berfikir kritis adalah berfikir yang memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek situasi atau masalah. Tingkatan yang terakhir adalah berfikir kreatif yang sifatnya orisinil dan reflektif.  Hasil dari keterampilan berfikir ini adalah sesuatu yang kompleks.  Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya.  Berfikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya menelorkan hasil akhir yang baru.

Dua tingkat berfikir terakhir inilah (berfikir kritis  dan berfikir kreatif)  yang disebut sebagai keterampilan berfikir tingkat tinggi yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika dan akan dibahas dalam tulisan ini.

Sedangkan pengetahuan tentang perbandingan Taksonomi Bloom yang berkisar tentang versi modifikasi dengan versi orisinalnya, yaitu sebagai berikut :
No.         Taksonomi Bloom (Versi Orisinal)          
1.            Pengetahuan (knowledge)                         
2.            Pemahaman (comprehension)         
3.            Aplikasi                        
4.            Analisis                        
5.            Sintesis                        
6.            Evaluasi                                       
        Taksonomi Bloom (Versi Modifikasi)
1.            Mengingat (to remember)
2.            Memahami (to comprehend)
3.            Mengaplikasikan (to apply)
4.            Menganalisis (to analyze)
5.            Mengevaluasi (to evaluate)
6.            Menciptakan (to create)

Yang termasuk ke dalam golongan Higher Thinking Order Skills adalah analisis, sintesis dan evaluasi sedangkan berdasarkan versi modifikasinya adalah menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan.
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah ingatan (memori) tentang materi yang dipelajari sebelumnya, yang biasanya ditunjukkan dengan mengingat (recall) fakta, istilah, dan konsep dasar. Sebuah kata kerja yang biasa digunakan untuk menginterpresentasikan sebuah pengetahuan adalah memilih, mendaftarkan, menjodohkan, mendefinisikan, menyebutkan, menandai, menunjukkan, dll. Sebagai contoh dalam pembelajaran matematika untuk mengetahui konsep pengetahuan ini adalah :
                 Apa yang dimaksud dengan fungsi?
                Berikan sebuah contoh fungsi. Apakah y=2x+5 merupakan fungsi?
b. Pemahaman
Pemahaman adalah proses membandingkan, menjelaskan, menyatakan gagasan utama tentang suatu fakta. Di dalam pendidikan matematika kata kerja yang biasa digunakan untuk mewakili pemahaman adalah membandingkan, mengelompokkan, menafsirkan, menerjemahkan, menjelaskan, dan merangkum. Untuk contoh dalam pembelajaran matematika itu sendiri yaitu :
                Apa ciri-ciri sebuah fungsi ?
                Apa bedanya fungsi dengan relasi ?
c. Aplikasi
Aplikasi adalah kemampuan menerapkan pengetahuan, fakta-fakta, teknik, rumus, atau prosedur, dalam menyelesaikan suatu masalah sederhana. Kata kerja yang biasa digunakan di dalam dunia pendidikan untuk menerapkan aplikasi adalah menerapkan, membangun, memilih (suatu teknik yang tepat), bereksperimen dengan, merencanakan, memecahkan, dan menggunakan. Sebagai contoh penerapannya adalah sebagai berikut :
Diketahui fungsi biaya dan pendapatan terhadap banyaknya barang yang diproduksi, tentukan kapan sebuah laba dapat diperoleh ?
d. Analisis
Analisis adalah kemampuan memeriksa dan mengurai informasi (memilih sebab dan akibatnya) di dalam mengambil kesimpulan dan melakukan generalisasi serta menemukan alasan yang mendukungnya. Contoh kata kerja yang digunakan adalah menganalisis, membandingkan, mengklasifikasikan, menemukan, memilah, memeriksa, menyelidiki, menyederhanakan dan menyimpulkan. Sedangkan contoh pertanyaan yang menunjukkan hasil analisis adalah :
                Selidiki apakah persamaan 2x+3y+5=0 sebuah fungsi atau bukan !
e. Sintesis
Sintesis adalah kemampuan mengkompilasi atau menggabungkan sejumlah informasi yang diberikan menjadi sebuah informasi baru (kadang dalam bentuk yang baru pula). Untuk lebih jelasnya bisa kita ilustrasikan dalam sebuah kata kerja sebagai berikut : membuat, membangun, merancang, mengkombinasikan, mengembangkan, merumuskan, menaksir, memperbaiki, memodifikasi, menyatakan (dalam bentuk lain). Contohnya adalah :
Nyatakan biaya dan pendapatan sebagai fungsi dari banyaknya barang yang diproduksi kemudian gambar grafik fungsi biaya dan pendapatan dalam sistem koordinat yang sama !
f. Evaluasi
Evaluasia dalah kemampuan menyajikan pendapat dan mempertahankannya dengan memberikan pertimbangan tentang informasi, fakta, dan keabsahan gagasan, berdasarkan kriteria tertentu. Sebagai contoh kata kerja yang biasa digunakan untuk menginterpresentasikan sebuah evaluasi adalah menyimpulkan, mengkritisi, memutuskan, mengevaluasi, menilai, membuktikan, menyangkal, mendukung suatu gagasan. Sebagai  contoh pertanyaannya yaitu :
Diberikan sebuah fungsi biaya dan pendapatan 2P=5Q+20, apa yang terjadi  apabila pajak sebesar 10% atas pendapatan yang diperhitungkan ?
Penjelasan di atas, yang bisa kita golongkan kedalam pembelajaran Higher Order Thinking Skills adalah menganalisis (to analyze), mengevaluasi (to evaluate), menciptakan (to create). Perlu kita ketahui bahwa mungkin sebagian siswa belum bisa mengetahui betul bagaimana mereka bisa menggunakan pikiran kritisnya untuk belajar berpikir dengan pemikiran tinggi atau kritis. Maka seorang guru perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu siswa dalam proses pembelajarannya di kelas. Agar siswa secara pribadi bisa mengembangkan pemikirannya dengan cara proses dipandu oleh guru di dalam kelas. Yang menjadi penegasan disini adalah seorang guru hanya bersifat memfasilitasi, dan perantara dalam prosesnya. Berbagai contoh pertanyaan yang dapat guru sampaikan adalah sebagai berikut :
Pertanyaan tentang bantuan kepada siswa bekerjasama dalam memaknai matematika adalah sebagai berikut :
         Apa pendapatmu tentang yang dikemukakan oleh … ?
        Apakah kamu setuju / tidak setuju ?
        Siapakah yang mempunyai pendapat yang sama, namun beda dalam cara
        menyampaikannya?
        Apakah kamu semua mengerti apa yang dia katakana ?
        Dapatkah kamu meyakinkan teman-teman sekelasmu bahwa yang kamu katakana itu
        masuk akal?
Pertanyaan yang dapat membantu siswa lebih yakin akan pemahaman matematikanya adalah sebagai berikut:
                Mengapa kamu berpikir begitu ?
                Mengapa itu betul ?
                Bagaimana kamu sampai pada kemampuan tersebut ?
                Apakah itu masuk akal ?
                Dapatkah kamu membuat sebuah model matematika untuk membuktikan hal tersebut?
Pertanyaan yang dapat membantu siswa bernalar secara matematis yaitu :
                Apakah itu selalu begitu ?
                Apakah itu benar dalam setiap kasus ?
                Dapatkah kamu menemukan sebuah contoh penyangkal ?
                Bagaimana kamu dapat membuktikannya ?
                Kesimpulan apa yang sedang kamu ambil ?
Pertanyaan yang bisa guru utarakan dalam membantu siswa membuat konjektur dan memecahkan suatu masalah, sebagai berikut :
                Apa yang terjadi seandainya … ? bagaimana jika tidak ?
                Apakah kamu melihat suatu pola ?
                Kemungkinan apa saja yang dapat terjadi ?
                Dapatkah kamu memperkirakan apa yang akan muncul berikutnya ?
                Bagaimana menurutmu masalah ini ?
                Menurutmu keputusan apa yang seharusnya temanmu ambil ?
                Apakah bedanya antara cara / metode kamu dengan cara / metode temanmu ?
Pertanyaan yang dapat membantu siswa mengkaitkan konsep matematika dan aplikasinya adalah sebagai berikut :
Apa keterkaitan ini dengan … ?
Konsep apa yang telah kita pelajari sebelumnya yang dapat dipakai untuk  memecahkan masalah ini?
Apakah kita pernah memecahkan masalah seperti ini sebelumnya ?
Apa manfaat matematika yang kalian temukan di surat kabar hari ini ?
Dapatkah kamu memberi sebuah contoh tentang … (dalam kehidupan sehari-hari) ?

Referensi:
Stanley Pogrow. Principal. November 1996. Diunduh di Http:// Hots.org
Thompson, Tony. 2008. Mathematics Teachers Interpretation of Higher-Order Thinking in Bloom’s Taxonomy in International Electronic Journal Of Mathematics Education (IEJME) Volume 3, Number 2, July 2008.
Idris Harta. Pertanyaan-pertanyaan Inovatif untuk Meningkatkan Ketrampilan Berfikir Tingkat Tinggi. 28 februari 2008.

Mencoba Memahami Harmoni

Mencoba Memahami Harmoni Dalam beberapa kali perkuliahan, selalu muncul pertanyaan mengenai ilmu filsafat. Setelah dicermati dan semakin di dengarkan itulah upaya rekan sekelasku menemukan harmoninya untuk berfilsafat bersama pak Marsigit. Sejujurnya apa yang saya tuliskan ini pun berkaitan dengan sudut pandang dan pemikiran Pak Marsigit. Karena ketika saya mulai menuliskan refleksi ini, maka saat itu pulalah pikiranku berupaya memahami maksud dari perkuliahan yang diberikan beliau. Yang pak Marsigit sampaikan tanpa jemu mengenai ilmu filsafat sebagai ibu dari ilmu pengetahuan karena obyek filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Ada dan yang mungkin ada lebih menggambarkan pada tingkatan dimensi ruang dan waktu. Yang tidak terlihat dalam ruangan tempat saya berada mungkin saja ada diruangan tempat saya berada dengan media yang sekarang ada (skype, video call, dsb). Sehingga ketika beliau selalu mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog, dapat saya terima karena dalam memberikan penjelasan beliau pelan-pelan dari yang sepertinya tidak nyambung sampai akhirnya dapat disimpulkan bersama-sama dengan permisalan benda atau sesuatu disekitar kita. Maka inilah analog sederhana dalam bahasa filsafat. Adapun pemahan saya terhadap hal ini, karena saya punya pengalaman lebih dari 3 tahun mengenal pak Marsigit dan eleginya. Inilah salah satu upaya saya memahami filsafat, dengan mencari sumber lain dan penselaras dengan kerendahan hati memahami bahwa pengalaman dan ilmu saya masih harus ditingkatkan. Karena dalam berfilsafat terkadang pertanyaan yang muncul itu tidak penting jawabannya tetapi lebih dibutuhkan penjelasannya, agar orang lain dapat memahami pemikiran dan maksud orang yang lain. Inilah contoh sederhana dari menterjemah dan diterjemahkan, yaitu cara lain seseorang mengenal pemikiran orang yang lain. Maka filsafat mengajak kita menerima pemikran orang lain karena setinggi-tingginya pemikiran manusia hanya bersifat relatif benar, karena kebenaran absolut memang hanya Milik Allah SWT. Setelah perteemuan ketiga ini, saya merasa bapak Marsigit masih dengan begitu gigih menasehati untuk tidak berhenti belajar dan membaca bahkan jangan begitu saja percaya dengan yang diajarkannya., melaikan kita perlu merenungkan lebih dalam. Beberapa mahasiswa nampak telah memiliki pemikiran sendiri tentang filsafat, sehingga seringkali muncul pertanyaan yang mengetes olah pikir beliau. Namun beliau selalu menjawab dengan tenang dan berhasil meyakinkan mahasiswanya. Hal ini senada dengan penjelasannya bahwa yang terpenting bukan jawabannya tetapi lebih ke pada alasannya. Bagi saya inilah salah satu contoh nyata teori filsafat yang beliau ajarkan dengan yang diterapkannya. Bahwa pengalaman juga sangat mendukung dalam hal ketenangan dan pengalaman referensi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan spontan yang muncul dari para mahasiswa. Mengamati cara mengajar dan yang diajarkan beliau adalah cara sederhana saya dalam mencapai hermenetika, menselaraskan pemikiran dengan beliau. Namun kebimbangan pun kadang muncul ketika mendapat hal baru dari beliau, tapi menurut beliau kebimbangan ini pun terkadang perlu untuk meningkatkan semangat belajar kita. Namun beliau selalu mewanti-wanti agar kita tidak terjebak dengan bisikan setan, dengan kebimbangan yang mengarah ke hal negatif.

MENYIKAPI BEREDARNYA BUKU LEMBAR KERJA SISWA (LKS) YANG DIANGGAP TIDAK MENDIDIK DITINJAU DARI SEGI ALIRAN EMPIRISME DAN IDEALISME FILSAFAT ILMU

Oleh Ervinta Astrining Dewi (12709251023) Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012 Pada dasarya tujuan adanya Lembar Kerja Siswa atau LKS adalah sebagai salah satu bentuk bahan ajar bagi siswa untuk dapat belajar bersama dan mandiri di rumah. Namun berdasarkan pengalaman lapangan, terkadang siswa justru lebih memilih membeli LKS dari pada buku paket dengan pertimbangan harga yang jauh relatif murah. Selain itu adanya LKS juga memudahkan guru dalam memberikan tugas dan latihan di rumah maupun disekolah ketika guru berhalangan. Sehingga LKS yang dengan harga satuan Rp 2.000,00 itu laris dibeli dan digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa di sekolah. Baik SD, SMP maupun SMA. Isu yang berkembang akhir-akhir ini adalah munculnya LKS-LKS yang dianggap tidak mendidik dan justru muncul pernyataan atau kata-kata yang cenderung menimbulkan pertanyaan yang memancing rasa penasaran siswa dan dianggap bukan sebagai bahasa formal dalam pendidikan. Misalnya saja foto Miyabi, kata: “selingkuh”, “istri muda”, “madu”, dsb. Hal tersebut menimbulkan banyak protes dalam masyarakat. Mencermati budaya yang terjadi di Indonesia tersebut adanya latihan soal berdasarkan LKS bagi siswa sendiri memberikan dampak yang kurang baik bagi pendidikan siswa. Karena siswa dengan belajar LKS merasa cukup untuk mempersiapkan ujian. Siswa terbudaya dengan adanya ujian dan penilaian. Sehingga dengan begitu banyaknya beban pendidikan siswa cenderung memilih belajar latihan singkat dengan LKS. Sehingga siswa bisa karena terbiasa mengerjakan bentuk-bentuk soal seperti dalam LKS. Sehingga siswa hanya sebatas tahu karena pengalamannya. Namun budaya ini akan sulit untuk dirubah, karena pada masa tahun 1990an di negara kita memang masih menggunakan kurikulum berbasis pengetahuan saja, sehingga guru juga tidak dapat serta merta disalahkan. Hal ini bersesuaian dengan pandangan aliran Empirisme yaitu ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman. Sehingga sampai sekarang pun budaya itu masih merambah dan berkembang. Terlebih adanya banyaknya materi dan keterbatasan waktu untuk mengejar Standar isi untuk Kelulusan siswa, maka guru yang mengajar kelas 6 SD, 3 SMP, dan 3 SMA di Indonesia, pada umumnya akan memberikan banyak latihan soal dibandingkan dengan memberikan materi. Karena juga berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh selama bertahun-tahun mengajar jenjang tersebut, cara ini sudah terbukti dapat menaikkan jumlah kelulusan dan dapat mengejar waktu. Selain itu siswa jadi terbiasa, terbudaya belajar dari contoh soal daripada memahami konsepnya, sehingga adanya LKS ini seeringkali menjadi jalan pintas. Sedangkan Guru tidak dapat serta merta disalahkan, karena munculnya budaya juga karena adanya sistem dari atas yang membatasi banyak ruang gerak dari para pendidik. Pendidikan di Indonesia sekarang ini boleh namanya berubah-ubah setiap tahunnya, ada KBK, KTSP, dan sebagainya. Tapi pada kenyataannya pelaksanaannya tetap saja mayoritas guru dan siswa merasa nyaman dengan sistem LKS dan latihan soal. Sehingga budaya ini sulit sekali untuk dirubah. Mayoritas guru dan siswa tidak mau keluar dari zona nyaman mereka. Karena pada masanya guru mendapatkan pengalaman cara belajarnya ini bisa membawanya kepada kesuksesan, cara mengajarnya dengan latihan soal membawa kelulusan 100% bagi siswa disekolahnya. Sehingga muncullah idealisme guru untuk tetap mengajarkan dengan zona nyamannya dan tidak berani keluar dari zona nyamannya. Hingga pada akhirnya muncullah kehebohan dengan munculnya fenomena LKS ini. Maka barulah terusik kenyamanan guru, siswa, dan beberapa pakar pendidikan. Kemudian banyaklah yang menyatakan bahwa yang membuat LKS bukan dari orang pendidikan, dan sebagainya. Penyangkalan-penyangkalan dpihak pendidikan yang meloloskan hingga LKS ini beredar dan sampai ke siswa seharusnya menjadi pemikiran dan renungan bersama. Karena orang yang membuat LKS ini meskipun bukan dari kalangan pendidikan, toh pernah memiliki pengalaman dalam belajar. Bahkan mungkin yang membuat LKS adalah ahli ilmu pengetahuan dari mata pelajaran yang diampunya. Karena terkadang guru juga bisa bingung ketika mengerjkakan pertanyaan dari LKS. Sehingga ternyata dari fenomena ini seharusnya dapat dijadikan renungan bersama, bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk membangun sebuah ilmu pengetahuan. Mensikapi perkembangan teknologi maka berkembang pulalah kebutuhan siswa dalam belajar. Sehingga sudah sepantasnya dipikirkan cara untuk dapat keluar dari zona nyaman. Dan sangat klise sekali jika penyusun LKS yang sudah menyusun berdasarkan standar isi dan SK-KD itu disalahkan begitu saja. Karena secara teori dia sudah benar, tetapi secara kandungannya saja yang dianggap tidak mendidik. Tidak dapat disalahkan pula dia yang bukan dari kalangan pendidik, karena yang membuat SK-KD atau para pakar di Kementrian pendidikan juga tidak semuanya memiliki dasar “pendidikan” sehingga seringkali kebijakannya menyulitkan guru untuk diadaptasi.