Minggu, 02 Desember 2012

Mengintip Filsafat Imanuel Kant



Oleh Ervinta Astrining Dewi
Mahasiswa Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012

Pada perkuliahan filsafat Senin, 26 November 2012 yang lalu saya menemukan istilah baru yang tercetus dari dosen saya Bapak prof. Dr. Marsigit yaitu “Mengintip belajar filsafat”. Kata-kata tersebut nampaknya yang paling membekas dari perkuliahan beliau kemarin. Mengingat sebelumnya telah beliau sampaikan bahwa belajar filsafat bisa dari sumber primer yaitu langsung dari pemikirnya, contohnya dengan membaca buku karya Immanuel Kant. Akan menjadi sumber skunder ketika saya belajar dari Bapak Marsigit yang membaca dari sumber Immanuel Kant, namun akan menjadi sumber tertier ketika Bapak Marsigit itu menjelaskan filsafat Immanuel Kant dari buku nya Plato, dan seteruysnya. Sedangkan kuliah kemarin istilah baru Beliau kita baru “mengintip” saja dari orang yang belajar filsafat Imanuel Kant yaitu melihat dari folder laptop dan mendengarkan bapak Marsigit membaca dan menjelaskan buku Immanuel Kant yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Mengapa dikatakan mengintip? Menurut beliau ketika kita belajar maka seorang akan mengulang-ulang agar paham. Sedangkan ketika seorang paham berarti orang tersebut sudah dapat memberikan contohnya, sehingga tidak salah juga ketika perkuliahan kemarin dikatakan baru “mengintip” saja.
Belajar sendiri mempunyai tingkatan, maka dalam ranah filsafat dapat dikatakan bahwa belajar juga berdimensi. Sewaktu SMA, S1 orang belajar filsafat biasanya disamakan dengan membaca buku teori-teori filsafat, tokoh-tokoh, dan sebagainya. Namun untuk tingkatan lebih lanjut belajar dapat memiliki tingkatan yang lebih karena orang dikatakan paham apabila dirinya sudah dapat memberikan contoh. Sehingga “mengintip Filsafat Imanuel Kant” di sini bukanlah hal yang memalukan karena untuk memahami pemikiran filsuf jaman dahulu sudah diketahui tidak mudah, karena fleksibilitas ilmu kita terkadang sudah tertutup oleh idealisme dari pengetahuan yang telah kita pelajari sebelumnya, sedangkan ternyata Filsafat mencakup yang ada dan yang mungkin ada, sehingga pantas sajalah jika “Mengintip” di sini juga berdimensi, karena ilmu yang kita pelajari nampaknya masih tidak cukup untuk mendefinisikan filsafat. Meski sudah banyak sumber yang telah kita baca dan pelajari ternyata masih sedikit apabila kita mau mencoba menengok lebih dalam dan terus belajar, ternyata masih ada saja yang belum kita pelajari, belum kita ketahui, dst. Berikut ini beberapa kutipan Filsafat Immanuel Kant dari buku pertamanya Kritik atas Rasio Murni.
Immanuel Kant merupakan filosof zaman modern yang mencoba mengkritisi pemikiran yang sedang berkembang pada masanya, yaitu antara pemikiran Rasionalisme yang berkembang di Jerman dan Empirisme yang berkembang di Inggris. Keduanya mengklaim bahwa masing-masing merupakan yang paling benar dalam epistimologi. Nmaun Immanuel Kant mengambil jarak pada keduanya dan filsafatnya lebih mengkaji pada batas-batas kemampuan rasio manusia sehingga filsafat Imanuel Kant disebut kritisisme yaitu penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori rene Descartes dan  Empirisme yang dipelopori oleh David Hume.
Imanuel Kant menyatakan rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang berada dalam jangkauan ruang dan waktu, sementara sesuatu yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Sehingga lebih cenderung memberikan batas-batas kemampuan rasio secara obyektif untuk memberikan tempat bagi iman dan kepercayaan. Dalam bukunya The Critique of pure Reason / kritik atas Rasio Murni, Kant menunjukkan bahwa rasio mampu menganalisa, karena rasio memiliki aspek apriori, yakni sesuatu yang diandaikan ada. Aspek apriori tersebut adalah ruang, waktu dan dua belas aspek rasio yang antara lain berupa kuantitas, kualitas, dan kausalitas. Semua itu disebut apriori, karena hanya bisa diketahui secara intuitif, bukan melalui pengalaman inderawi. Misal, angka 0,1,2,3, dst hanyalah perwujudan empiris dari pengetahuan intuitif manusia tentang kuantitas.
Adapun proporsi yang sering disebut oleh Imanuel Kant adalah sintetik dan analitik. Analitik merupakan identitas dari hal yang ada dan mungkin ada sehingga dapat dituliskan sebagai subjek = predikat. Masalah analitik sulit sekali diberikan contohnya namun hal tersebut menunjukkan bahwa sesuatu itu benar hanya ketika dipikirkan dan akan salah ketika sudah dituliskan, sehingga jenis pengetahuan ini menurut Kant sulit untuk memahami realitas. Sedangkan sintetik merupakan kekontradiksian sehingga subjek tidak sama dengan predikat, yaitu jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Contoh sintetik adalah “suhu badan normal adalah 37oC”. Subjek dari pernyataan tersebut adalah suhu badan normal sedangkan predikatnya telah tersintesiskan sehingga terbentuk suatu proporsi baru. Proporsi merupakan hal yang baru sehingga belum diketahui kebenarannya. Agar proporsi tersebut dapat diketahui kebenarannya maka harus diketahui dengan pembuktian dan pengalaman.
Selain itu terdapat dua kebenaran menurut Imanuel Kant yaitu a priori dan a posteriori. Kebenaran apriori merupakan suatu keyakinan yang timbul berdasarkan suatu pendapat/ definisi yang sudah ada dan sudah dinilai benar oleh semua orang. Contoh dalam matematika 4+5=9. Sedangkan kebenaran a posteriori yang sering disebut kebenaran berdasarkan pengalaman. Contohnya: Kalau tidak mandi badan akan gatal. Pada kebenaran aposteriori ini predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, ada orang yang yang tidak mandi tapi badannya tidak gatal. Karenanya Kant mengajarkan jenis putusan lain yaitu berupa sintetis apriori, yaitu jenis putusan yang akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar.

Refleksi Menggapai Benang Merah Filsafat



Sepanjang perkuliahan filsafat ilmu telah banyak hal yang dibaca dan dipikirkan, namun apabila kita kaji lebih dalam secara ektensif dan intesif lagi mengenai filsafat ternyata masih banyak hal yang belum kita pahami, belum kita baca, belum kita pikirkan dan sebaginya. Hal ini lah yang dinamakan kesadaran kita akan ruang filsafat, karena filsafat sendiri merupakan sesuatu yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sama halnya ketika kita akan mendefinisikan filsafat, mungkin sampai sekarang kita masih belum mampu mendefinisikan filsafat itu. Masalah yang sering muncul dikatakan oleh bapak Maarsigit adalah seberapa banyak kah kebutuhan kita untuk mengetahui filsafat. Misal untuk berfilsafat matematika apakah seorang itu harus purna belajar matematikanya? Apakah seorang yang akan berfilsafat pendidikan harus purna memahami tentang pendidikan? Beberapa pertanyaan mengenai masalah di atas dijelaskan oleh bapak Marsigit layaknya sebuah kontradiksi menurut saya. Namun demikian, hal tersebut juga membukakan mata saya mengenai perkuliahan sebelumnya bahwa “apalah daya hidup ini juga adalah kontradiksi”.
Menurut beliau apabila seorang itu hendak berfilsafat, maka tidaklah perlu dia harus menguasai secara menyeluruh terlebih dahulu. Namun demikian akan menjadi masalah ketika ilmu yang dikuasainya sedikit, misalnya saja dalam berfilsafat matematika sendiri akan bermasalah ketika pengetahuan tentang matematikanya sedikit. Apabila seorang itu sudah purna dalam mempelajari ilmu bidangnya maka ketika berfilsafat maka filsafatnya akan baik, meskipun demikian dijelaskan pula ketika ilmu bidang seseorang itu sudah purna maka fleksibilitasnya menjadi lebih rendah dalam merefleksikan ilmunya. Karenanya menggapai “cukup” dalam berfilsafat ini adalah hal yang gampang-gampang susah. Maka dalam mempelajari filsafat sendiri adalah metode hidup yang biasa disebut dengan hermeneutika. Dalam hal ini menurut beliau mempelajari filsafat dengan metode hermeneutika seperti lingkaran yang diberi garis vertikal sehingga mengulang-mengulang-mengulang terus dan juga dikembangkan-dikembangkan-dikembangkan dan seterusnya bagai spiral. Secara tersirat dapat ditangkap bahwa dalam berfilsafat berarti kita harus selalu belajar dan belajar, berlatih dan berlatih dengan segala kerendahan diri. Senada dengan filsafat Kant yang menurutnya berupa penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat pada iman dan kepercayaan. Sehingga senantiasa sebagai manusia kita harus selalu belajar dan rendah hati mengenai batasan-batasan kemampuan rasio kita. Inilah sebuah bentuk kesadaran filsafat. Sehingga untuk mempelajari filsafat diperlukanlah pikiran kritis, karena filsafat sendiri juga merupakan olah pikir yang refleksif.
Adapun ulama atau pendeta yang baik keilmuaan agamanya dan filsafatnya terkenal, maka dikenal lah namanya dan karyanya dibukukan dikenal sebagai filsuf-filsuf ternama atas sumbangan pemikirannya. Perkembangan filsafat dimulai dari zaman Yunani, mereka tertarik mengenai mengenai benda diluar dirinya, sehingga mereka tertarik untuk mengetahui segala sesuatu itu terbuat dari apa? Atau unsur-unsur dasar dari benda-benda sekitar, maka munculah pemikir-pemikir dengan teori-teorinya. Selanjutnya setelah merasa cukup meskipun belum tuntas kemudian beralihlah ketertarikannya dengan lebih melihat pada diri manusia itu sendiri. Mulai dipikirkan apa itu bijaksana, baik apa itu buruk, adil, jujur, dsb. Pada masa inilah muncullah tokoh-tokoh seperti socrates, bahkan muncullah Protagoras yang mengatakan bahwa ukuran dar segala sesuatu adala manusia. Pada masa ityu belum ada agama sekitar 3000 SM. Kemudian waktu berjalan demikian muncul pemikiran tentang penerapan-penerapan pada tatanegara, sosial dan sebagainya, sehingga Plato membuat buku “Republika” mengenai tata kenegaraan. Sehingga praktek pertama ketatanegaraan itu pada zaman Yunani. Pada masa itu pemikiran-pemikiran masih netral tidak terbebani oleh kepentingan-kepentingan poilitik tertentu.
Mulai abad ke-13 pada perkembangan gereja, seolah-oleh kebenaran itu adalah atas kuasa atau ijin dari gereja. Salah satu kebenaran saat itu adalah bumi adalah pusat alam semesta. Sehingga ketika muncul pemikiran baru oleh Copernicus bahwa matahari sebagai pusat tata surya menjadi sesuatu yang luar biasa yang dianggap memalukan, menjatuhkan kredibilitas sehingga kalau bisa pemikir baru itu dikejar, diburu, dibunuh, dan di bakar bukunya. Namun namanya pemikiran itu larinya secepat angin sehingga tetap saja tidak dapat benar-benar diberantas. Sampai sekarang secara scientist bahwa mataharilah sebagai pusat tata surya. Ilmu ini dibuktikan dengan adanya pengembangan sampai manusia bisa keluar angkasa, dsb.
Revolusi oleh revolusi Copernicus ini sebagai awal dari perkembangan filsafat modern. Sehingga muncul tokoh-tokoh dan pemikiran Rasionalisme dan Empirisme. Demikian perkembangannya sehingga ada Empirisme di daratan Eropa dan Empirisme di daratan Inggris. Demikian pula ada rasionalisme di daratan Eropa dan rasionalisme didaratan Inggris. Untuk mengkaji dan memahami mengenai dua aliran  filsafat ini maka diperlukan pikiran kritis karena telah kita ketahui bahwa filsafat adalah olah pikir. Perkembangan dua pemikiran ini juga berpengaruh pada hubungan antar negara dan pemikiran dasar dari suatu negara. Sejarah perkembangannya ini berpengaruh pada perkembangannya sampai sekarang ini.