Rabu, 23 Januari 2013

KOMPETENSI GURU DAN RELEVANSI PELAKSANAAN PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH PADA PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA




Oleh Ervinta Astrining Dewi (12709251023)
Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012

Pada dokumen Permendiknas nomor 22 tahun 2006 menyatakan bahwa mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Mencapai kebergunaan tersebut, maka ditetapkan rumusan tujuan pembelajaran matematika yang lebih rinci, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika, (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006:346). Pada butir (3) menyatakan bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah meliputi kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan hal tersebut maka sudah menjadi kewajiban dalam proses pembelajaran matematika untuk mengajarkan kemampuan pemecahan masalah.
Selama ini telah banyak penelitian yang mengkaji mengenai kemampuan pemecahan masalah. Salah satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan secara berkala oleh TIMMS dan PISSA. Penelitian yang mereka lakukan diantaranya menyangkut ketrampilan pemecahan masalah, reading, matematika, dan sains. Hasil penilaian PISA (2009) menunjukkan kemampuan penyelesaian masalah matematis siswa Indonesia memperoleh skor 371 dan merupakan peringkat 61 dari 65 negara peserta. Selain itu data penilaian oleh TIMMS tahun 2012 bahwa prestasi belajar matematika  siswa di Indonesia memperoleh skor 386 dan menempatkan Indonesia pada posisi 109 dari 117 negara. Penelitian yang dilakukan TIMMS dan PISSA ini cenderung memberikan penilaian dan membandingkan hasil pekerjaan antara negara-negara peserta. Seringkali hal ini digunakan sebagai dasar pentingnya melakukan penelitian mengenai kemampuan pemecahan masalah. Karena Data TIMMS dan PISSA ini dapat mendukung bahwa kemampuan pemecahan masalah di Indonesia masih rendah dan didukung oleh dokumen permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang pentingnya pelaksanaan pemecahan masalah dalam pendidikan, sehingga banyak peneliti yang tertarik untuk mengangkat tema mengenai kemampuan pemecahan masalah.
Meskipun telah banyak penelitian yang mengangkat mengenai pemecahan masalah, seperti penelitian-penelitian yang terangkum dalam Framework Field Trial Problem Solving PISA 20012 (2010) berikut ini:
1.         Penelitian tentang kecerdasan dan peran perbedaan kreativitas mengeksplorasi individu dalam kemampuan kognitif manusia dalam pemecahan masalah (Guilford, 1967; Sternberg, 1990, 1999; Sternberg & Grigorenko, 2003).
2.         Penelitian Psikometri meneliti korelasi antara tes kognitif (Carroll, 1993) dan bukti untuk kecerdasan umum (atau apa yang disebut g) akan tercermin dalam korelasi tinggi di antara semua tes kognitif. Namun, faktor analisis (dan alat statistik serupa) mengungkapkan banyak faktor khusus yang lebih kecil, seperti bentuk kemampuan verbal, kemampuan matematika, dan kemampuan spasial (Carroll, 1993; Sternberg 1999). Menurut Sternberg, penelitian modern ilmu kognitif berfokus pada identifikasi proses komponen yang mendukung kinerja pada tes kecerdasan, termasuk analisis tugas kognitif item tes kecerdasan, dan perbedaan individu penentuan dalam sistem pengolahan informasi yang berkaitan dengan hasil tes kognitif. Karya ini menyoroti peran pengetahuan domain yang spesifik dan Kreativitas 40 pengolahan dalam kinerja kognitif, serta cara berpikir masyarakat tergantung pada arsitektur sistem pengolahan informasi manusia.
3.         Penelitian tentang pengajaran keterampilan berpikir yang berfokus pada pelatihan yang membantu orang menjadi pemecah masalah yang lebih baik (Bloom & Broder, 1950; Covington, Crutchfield, Davies, & Olton, 1974; Nickerson, 1999; Ritchhart & Perkins, 2005). Temuannya pada pelatihan pemecahan masalah cenderung efektif bila berfokus pada keterampilan khusus yang diperlukan untuk tugas (seperti menghasilkan dan menguji hipotesis), ketika terdapat sebuah model keterampilan pemecah masalah yang sukses, dan ketika tes melibatkan masalah yang mirip dengan yang digunakan selama pelatihan. Tidak ada bukti kuat bahwa orang dapat diajarkan memecahkan masalah umum strategi yang meningkatkan kinerja di satu set situasi beragam masalah (Nickerson, 1999; Ritchhart & Perkins, 2005). Dengan demikian, tema penting dari penelitian pada pemikiran pelatihan keterampilan menyangkut peran spesifik domain pengetahuan dalam mendukung pemecahan masalah. Selain ini masih banyak pula mengenai penelitian berkaitan dengan pemecahan masalah.
Selama ini penelitian lebih berkutat pada masalah bagaimana cara mengajarkan pemecahan masah, bagaimana peserta didik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, bagaimana peserta didik mampu meningkatkan ketrampilan pemecahan masalahnya, dan sebagainya namun belum banyak yang mengangkat masalah mengenai bagaimana yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang guru di Indonesia, khususnya di daerah seperti Daerah Istimewa Yogyakarta. Karena dari banyak latar belakang penelitian yang diangkat hampir semua mahasiswa baik S1 maupun S2 Universitas Negeri Yogyakarta berlandaskan penilaian PISSA dan TIMMS yang secara tersirat menyatakan bahwa kemampuan pemechan masalah di Indonesia masih rendah.
Faktanya telah banyak usaha dan upaya yang ditempuh pemerintah dan para pemerhati pendidikan dalam upaya meningkatkan keprofesionalan guru. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya guru di Indonesia yang sudah tersertifikasi. Beberapa penelitian seolah mempertanyakan proses pembelajaran kelas di Indonesia yang dianggap kuno dan tradisional karena masih berpegang pada paradigma teacher center. Kemudian munculah banyak tawaran dan alternati solusi metode pembelajaran Inquiry, kooperatif learning  dan masih banyak lagi yang cenderung lebih keparadigma student center. Hal ini diperkuat oleh pelaksanaan pembelajaran di negara Finlandia yang pendidikannya dianggap nomor 1 di dunia yang sukses menerapkan pembelajaran student center, sehingga tumbuh isu paradigma pendidikan abad 21 yang mengarah pada pembelajaran student center yang dianggap terbaik (Leung, 2002).
Namun ternyata isu ini juga memiliki tandingan dalam jurnal Leung (2002) “IN SEARCH OF AN EAST ASIAN IDENTITY IN MATHEMATICS EDUCATION” yang menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran yang dianggap tradisional itu ternyata negara-negara di Asia Timur mampu menyaingi bahkan kadang mengalahkan rekan-rekannya di Barat. Mengambil posisi netral diantara paradigma pendidikan abad 20 dan paradigma pendidikan abad 21, maka peneliti tertarik untuk menyelidiki mengenai Kompetensi guru dan relevansi pelaksanaan pendekatan pemecahan masalah pada proses pembelajaran matematika. Hal ini diperkuat, dengan banyaknya buku tentang bagaimana menjadi guru yang baik, guru yang kreatif dan guru yang ispiratif, namun belum banyak yang menuliskan secara ilmiah dan ditemukan dengan kondisi sosial budaya masyarakat daerah serta solusi relevannya.
Buku-buku yang beredar kebanyakan berbahasa Inggris seperti buku kumpulan jurnal dan artikel Peteerson “Becoming a Teacher”, Jurnal-jurnal internasional oleh Patrick Kim Cheng Low and Sik Liong Ang “How to be a Good Teacher?”, dan masih banyak lagi. Hal ini bertujuan agar masalah-masalah dari sisi guru mengenai ketrampilan pemecahan masalah dan pelaksanaannya pada pembelajaran Matematika dapat tersusun secara sistematis sehingga dapat dijadikan salah satu acuan bagi guru matematika yang lain secara nyata, tidak terbatas pada teori dan kriteria idealnya, bagi guru dan pendidik pada umumnya. Sehingga dapat tersusun sebuah karya yang sistematis dan ilmiah mengangkat relevansi kompetensi guru dan pelaksanaan pendekatan masalah berkaitan dengan pengalaman lapangan yang secara nyata dialami guru dalam upaya mencari solusinya.
DAFTAR PUSTAKA
Leung, Frederick K.S. 2002. IN SEARCH OF AN EAST ASIAN IDENTITY IN MATHEMATICS EDUCATION. Educational Studies in Mathematics 47: 35–51, Nerherlands:  Kluwer Academic Publishers. Diakses dari: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&ved=0CGsQFjAJ&url=http%3A%2F%2Fwww.cimm.ucr.ac.cr%2Fojs%2Findex.php%2Feudoxus%2Farticle%2Fdownload%2F517%2F509&ei=DZzOUIT-F8borQfnqoHoCw&usg=AFQjCNFxhZOEVnlVx5115doFdMZkt9uYlg&bvm=bv.1355325884,d.bmk
Patrick Kim Cheng Low and *Sik Liong Ang. 2011.  How to be a Good Teacher. Educational Research (ISSN: 2141-5161) Vol. 2(5) pp. 1118-1123 May 2011 Available online@ http://www.interesjournals.org/ER diakses dari: http://www.ame.pitt.edu/documents/Johnston_GoodTeacher.pdf
Partnership for 21st Century Skills, “Framework for 21st Century Learning”, http://www.p21.org/index.php?option=com_content&task=view&id=254&Itemid=120 diakses tanggal 5 Desember 2012
Ramdhani, Neila. 2012. Menjadi Guru Inspiratif. Jakarta: Titian Foundation.
Herman, Tatang, M.Ed. 2000. STRATEGI PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Bandung: LPM Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan Departemen Agama Republik Indonesia. Diakses tanggal 5 Desember 20012 di http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR.PEND.MATEMATIKSA/196210111991011-TATANG-HERMAN/Artikel14.pdf
Lubis, Masyaroh; dkk. 2011. KOMPETENSI GURU:ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Diakses dari:http://www.teknologipendidikan.net/wp-content/uploads/2011/02/Kompetensi-Guru.pdf
Undang-Undang Republik  Indonesia nomor 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara, 2009.
Undang-Undang Republik  Indonesia nomor 16 tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Bandung: Citra Umbara, 2009.
PISA. 2010. PISA 2012 FIELD TRIAL PROBLEM SOLVING FRAMEWORK. Diakses di http://ProbSolvFrmwrk_FT2012.PISA.org

Pendekatan Cooperatif Learning



oleh Ervinta Astrining Dewi, S.Pd
A.    Pengertian Cooperative Learning
Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 (empat) siswa yang mempunyai kemampuan yang berbeda (Slavin, 1994), dan ada yang menggunakan ukuran kelompok yang berbeda-beda (Cohen, 1986; Johnson & Johnson, 1994; Kagan, 1992; Sharan & Sharan, 1992).
Khas Cooperative Learning yaitu siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kooperatif dan tinggal bersama dalam satu kelompok untuk beberapa minggu atau beberapa bulan. Sebelumnya siswa tersebut diberi penjelasan atau diberi pelatihan tentang bagaimana dapat bekerja sama yang baik dalam hal:
a.         Bagaimana menjadi pendengar yang baik
b.         Bagaimana memberi penjelasan yang baik
c.         Bagaimana cara mengajukan pertanyaan dengan benar dan lain-lainnya.
Aktivitas Cooperative Learning dapat memaikan banyak peran dalam pelajaran. Dalam pelajaran tertentu Cooperative Learning dapat digunakan 3 (tiga) tujuan berbeda yaitu: Dalam pelajaran tertentu siswa sebagai kelompok yang berupaya untuk menemukan sesuatu, kemudian setelah jam pelajaran habis siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi dan setelah itu siswa akan mendapat kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai segala sesuatu yang telah dipelajarinya untuk persiapan kuis, bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan pada pendekatan konstruktivis. Cooperative Learning merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam Cooperative Learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Unsur-unsur dasar dalam Cooperative Learning adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).
  1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”
  2. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
  3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
  4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
  5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
  6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
  7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Pada Cooperative Learning diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
B.     Ciri-ciri Cooperative Learning
Beberapa ciri dari pembelajaran kooepratif adalah;
(a)    Setiap anggota memiliki peran
(b)     Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa
(c)    Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya
(d)   Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok
(e)    Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Carin, 1993).
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik Cooperative Learning sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995), yaitu:
a.   Penghargaan kelompok
Cooperative Learning menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b.   Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c.   Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Cooperative Learning menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.
Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1.      Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2.  Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3.  Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C.      Keterampilan Kooperatif
Dalam Cooperative Learning tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tersebut antara lain sebagai berikut (Lungdren, 1994).
a.       Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal
1)      Menggunakan kesepakatan
2)      Menghargai kontribusi
3)      Mengambil giliran dan berbagi tugas
4)      Berada dalam kelompok
5)      Berada dalam tugas
6)      Mendorong partisipasi
7)      Mengundang orang lain
8)      Menyelesaikan tugas dalam waktunya
9)      Menghormati perbedaan individu
b.      Keterampilan Tingakat Menengah
Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan dengan arif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan.
c.       Keterampilan Tingkat Mahir
Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.
D.    Fase-Fase dalam Cooperative Learning
Terdapat 6 fase atau langkah utama dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 1997:113), yaitu:
Langkah
Indikator
Tingkah Laku Guru

Langkah 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.
Langkah 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa
Langkah 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menginformasikan pengelompokan siswa
Langkah 4
Membimbing kelompok belajar
Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompokkelompok belajar
Langkah 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah  dilaksanakan
Langkah 6

Memberikan
Penghargaan
Guru memberi penghargaan hasil
belajar individual dan kelompok.

E. Pendekatan dalam Cooperative Learning
Walaupun prinsip dasar Cooperative Learning tidak berubah, terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif (Arends, 2001). Di sini akan diuraikan secara ringkas masing-masing pendekatan tersebut.
a.      Student Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin dan merupakan pendekatan Cooperative Learning yang paling sederhana. Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD:
·         Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada  siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
·         Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual sehingga akan diperoleh skor awal.
·         Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbedaserta kesetaraan jender.
·         Bahan materi yang telah dipersiapkan didiskusikan dalam kelompok untuk mencapai kompetensi dasar. Pembelajaran kooperatif tipe STAD, biasanya digunakan untuk penguatan pemahaman materi (Slavin, 1995).
·         Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
·         Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
·         Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
b.      Investigasi Kelompok
Investigasi kelompok mungkin merupakan model Cooperative Learning yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih terpusat pada guru.
Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas.
c.       Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagen dan kawan-kawannya. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal adalah think-pair-share dan numbered-head-together (NHT), yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial.
Langkah-langkah penerapan NHT:
  • Guru menyampaikan materi pembelajaran atau permasalahan kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
  • Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau awal.
  • Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
  • Guru mengajukan permasalahan untuk dipecahkan bersama dalam kelompok.
  • Guru mengecek pemahaman siswa dengan menyebut salah satu nomor (nama) anggota kelompok untuk menjawab. Jawaban salah satu siswa yang ditunjuk oleh guru merupakan wakil jawaban dari kelompok.
  • Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada akhir pembelajaran.
  • Guru memberikan tes/kuis kepada siswa secara individual
  • Guru memberi penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya(terkini).
d.      Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).
Cooperative Learning tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengarjarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Langkah-langkah dalam penerapan jigsaw adalah sebagai berikut:
  • Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah serta jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
  • Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukanpengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
  • Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
  • Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
  • Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi  pembelajaran
  • Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
e.       Team Assited Individualization atau Team Accelarated Instruction
Pembelajaran kooperatif tipe Team Assited Individualization (TAI) ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada tipe TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Langkah-langkah pmbelajaran kooperatif tipe TAI sebagai berikut.
  • Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru.
  • Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
  • Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5
  • siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan jender.
  • Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok.
  • Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.
  • Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual.
  • Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya (terkini).
Daftar Pustaka: