Minggu, 04 November 2012

MENYIKAPI BEREDARNYA BUKU LEMBAR KERJA SISWA (LKS) YANG DIANGGAP TIDAK MENDIDIK DITINJAU DARI SEGI ALIRAN EMPIRISME DAN IDEALISME FILSAFAT ILMU

Oleh Ervinta Astrining Dewi (12709251023) Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012 Pada dasarya tujuan adanya Lembar Kerja Siswa atau LKS adalah sebagai salah satu bentuk bahan ajar bagi siswa untuk dapat belajar bersama dan mandiri di rumah. Namun berdasarkan pengalaman lapangan, terkadang siswa justru lebih memilih membeli LKS dari pada buku paket dengan pertimbangan harga yang jauh relatif murah. Selain itu adanya LKS juga memudahkan guru dalam memberikan tugas dan latihan di rumah maupun disekolah ketika guru berhalangan. Sehingga LKS yang dengan harga satuan Rp 2.000,00 itu laris dibeli dan digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa di sekolah. Baik SD, SMP maupun SMA. Isu yang berkembang akhir-akhir ini adalah munculnya LKS-LKS yang dianggap tidak mendidik dan justru muncul pernyataan atau kata-kata yang cenderung menimbulkan pertanyaan yang memancing rasa penasaran siswa dan dianggap bukan sebagai bahasa formal dalam pendidikan. Misalnya saja foto Miyabi, kata: “selingkuh”, “istri muda”, “madu”, dsb. Hal tersebut menimbulkan banyak protes dalam masyarakat. Mencermati budaya yang terjadi di Indonesia tersebut adanya latihan soal berdasarkan LKS bagi siswa sendiri memberikan dampak yang kurang baik bagi pendidikan siswa. Karena siswa dengan belajar LKS merasa cukup untuk mempersiapkan ujian. Siswa terbudaya dengan adanya ujian dan penilaian. Sehingga dengan begitu banyaknya beban pendidikan siswa cenderung memilih belajar latihan singkat dengan LKS. Sehingga siswa bisa karena terbiasa mengerjakan bentuk-bentuk soal seperti dalam LKS. Sehingga siswa hanya sebatas tahu karena pengalamannya. Namun budaya ini akan sulit untuk dirubah, karena pada masa tahun 1990an di negara kita memang masih menggunakan kurikulum berbasis pengetahuan saja, sehingga guru juga tidak dapat serta merta disalahkan. Hal ini bersesuaian dengan pandangan aliran Empirisme yaitu ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman. Sehingga sampai sekarang pun budaya itu masih merambah dan berkembang. Terlebih adanya banyaknya materi dan keterbatasan waktu untuk mengejar Standar isi untuk Kelulusan siswa, maka guru yang mengajar kelas 6 SD, 3 SMP, dan 3 SMA di Indonesia, pada umumnya akan memberikan banyak latihan soal dibandingkan dengan memberikan materi. Karena juga berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh selama bertahun-tahun mengajar jenjang tersebut, cara ini sudah terbukti dapat menaikkan jumlah kelulusan dan dapat mengejar waktu. Selain itu siswa jadi terbiasa, terbudaya belajar dari contoh soal daripada memahami konsepnya, sehingga adanya LKS ini seeringkali menjadi jalan pintas. Sedangkan Guru tidak dapat serta merta disalahkan, karena munculnya budaya juga karena adanya sistem dari atas yang membatasi banyak ruang gerak dari para pendidik. Pendidikan di Indonesia sekarang ini boleh namanya berubah-ubah setiap tahunnya, ada KBK, KTSP, dan sebagainya. Tapi pada kenyataannya pelaksanaannya tetap saja mayoritas guru dan siswa merasa nyaman dengan sistem LKS dan latihan soal. Sehingga budaya ini sulit sekali untuk dirubah. Mayoritas guru dan siswa tidak mau keluar dari zona nyaman mereka. Karena pada masanya guru mendapatkan pengalaman cara belajarnya ini bisa membawanya kepada kesuksesan, cara mengajarnya dengan latihan soal membawa kelulusan 100% bagi siswa disekolahnya. Sehingga muncullah idealisme guru untuk tetap mengajarkan dengan zona nyamannya dan tidak berani keluar dari zona nyamannya. Hingga pada akhirnya muncullah kehebohan dengan munculnya fenomena LKS ini. Maka barulah terusik kenyamanan guru, siswa, dan beberapa pakar pendidikan. Kemudian banyaklah yang menyatakan bahwa yang membuat LKS bukan dari orang pendidikan, dan sebagainya. Penyangkalan-penyangkalan dpihak pendidikan yang meloloskan hingga LKS ini beredar dan sampai ke siswa seharusnya menjadi pemikiran dan renungan bersama. Karena orang yang membuat LKS ini meskipun bukan dari kalangan pendidikan, toh pernah memiliki pengalaman dalam belajar. Bahkan mungkin yang membuat LKS adalah ahli ilmu pengetahuan dari mata pelajaran yang diampunya. Karena terkadang guru juga bisa bingung ketika mengerjkakan pertanyaan dari LKS. Sehingga ternyata dari fenomena ini seharusnya dapat dijadikan renungan bersama, bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk membangun sebuah ilmu pengetahuan. Mensikapi perkembangan teknologi maka berkembang pulalah kebutuhan siswa dalam belajar. Sehingga sudah sepantasnya dipikirkan cara untuk dapat keluar dari zona nyaman. Dan sangat klise sekali jika penyusun LKS yang sudah menyusun berdasarkan standar isi dan SK-KD itu disalahkan begitu saja. Karena secara teori dia sudah benar, tetapi secara kandungannya saja yang dianggap tidak mendidik. Tidak dapat disalahkan pula dia yang bukan dari kalangan pendidik, karena yang membuat SK-KD atau para pakar di Kementrian pendidikan juga tidak semuanya memiliki dasar “pendidikan” sehingga seringkali kebijakannya menyulitkan guru untuk diadaptasi.

Tidak ada komentar: