Senin, 25 Mei 2009

Kenanganku

Awal mula aku berniat menambah mata kuliah Filsafat, aku hanya berpikir aku jenuh belajar hitungan. Aku tertarik dengan beberapa dosen dan gaya mengajarnya, dan salah satunya Bapak Marsigit, maka aku putuskan untuk mengambil mata kuliah Filsafat matematika yang sebenarnya aku tidak tahu apa yang akan aku pelajari di sana. Motivasiku yang pertama kali mengambil mata kuliah ini tidak lain aku hanya ingin mendapatkan greget untuk kuliah. Karena begitu aku mengikuti kuliah beliau, aku seolah selalu diingatkan dan dikejar-kejar dengan target tugas-tugas dan ujian setiap saat, sehingga tak mungkin aku punya niatan bolos jika mengikuti perkuliahan ini. Yang memotivasiku justru kegelisahanku kalau aku terlambat dan dikunci beliau. Aku masih terkenang kejadian bahasa inggris disemester lalu.

Sebenarnya sering kali saya berpikir kenapa saya merasa berbeda? Anehkah diri saya? Kenapa apa yang saya sampaikan susah diterima orang lain dan sering kali dianggapnya pernyataan maupun pemikiran saya berputar-putar sehingga sulit untuk dipahami mereka? Sebenarnya hal inilah yang pada akhirnya menutup diri saya untuk berkata-kata dan membuat saya berpikir lebih baik saya diam saja, daripada hanya tidak diterima. Bahkan kejarangan frekuensi pertemuan saya dengan orang tua saya pun membuat mereka berpikir saya ini orang yang susah untuk dipahami dan sering bicara yang tidak perlu. Sampai saya menjadi tidak yakin pada diri saya sendiri akan mengenal orang yang bisa memahami saya apa adanya.

Hal ini membuat saya sering kali menurut saja pada ibu baik dalam pertemanan, maupun pacaran. Dua kali saya pacaran, mengenai baju, smsan, kata-kata yang terucap, keinginan apa juga, sampai pemikiran saya pun seolah didekte oleh ibu saya. Sehinnga saya pun dianggap sebagai anak penurut. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa berpikir sendiri dan menjadi diri sendiri lebih baik untuk hati saya maupun hubungan saya dengan teman, sahabat maupun pacar. Karena justru mereka tidak merasa saya bohongi dan saya pun bisa bersikap wajar. Tapi mungkin saya masih bimbang dan takut karena bahasa saya masih sulit dipahami ibu saya, sehingga saya yang seperti ini baginya adalah saya yang pembangkang yang terbawa sifat buruk teman dan pacar saya. Tapi sungguh saya sadar mungkin agak terlambat, tapi ini masa pemberontakan bagi saya. Tetapi saya sadar, ternyata setelah masa inilah saya mempunyai teman, sahabat seperti yang saya inginkan. Mereka yang tulus dan memahami perasaan saya.
Tetapi sungguh susah ternyata merubah pandangan ibu saya. Mungkin memang saya bukan anak yang baik dan yang bisa jadi kebanggaannya. Tapi semenjak mengenal filsafat, yang saya lakukan hanya merenung. Dari situ saya sering menumpahkan perasaan saya, kebimbangan saya. Elegi pertama yang menggugah saya adalah Elegi menggapai Hati. Kemudian saya masih ingat saya bertanya juga tentang “sahabat”. Mungkin sedikit hal yang saya pahami dimana pun kita tidak boleh merasa sendiri selama kita masih tetap beribadah, karena ada Allah SWT yang bisa kita mintai petunjuk dan pertolongan setiap saat, dan apapun kata orang tentang kita yang penting kesadaran dan niat kita tulus dan lurus, karena kita (saya) belum bisa menggapai ruang dan waktu.

Tetapi sedikit setelahnya ternyata saya tereduksi oleh pemikiran bapak. Setelah beberapa orang berkata saya ini cukup tenang menghadapi masalah, ternyata saya terjebak mitos dan tanpa sadar saya sombong. Sesungguhnya saya merasa malu ketika mengingatnya. Kemudian ada sesuatu yang akhirnya membuat saya bertengkar dengan pacar saya tentang masalah “sabar”. Saya kukuh pada pendirian saya dan sebaliknya. Tidak seperti biasa kami tiada yang mau mengalah dan akhirnya suasana tidak nyaman. Kemudian pada materi-materi Elegi menggapai Perubahan, Tetap, Pemberontakan para Logos, Para keliru dan sebagainya membuat saya merenung kembali dan akhirnya saya berupaya membuang ego saya, karena saya ingat bahwa pemikiran saya ini bukanlah absolut benar, jadi salah jika saya berdebat masalah seperti ini tanpa mau mendengar pendapat orang lain. Karena orang lain itu pun juga sebenarnya berfilsafat, dan setiap kata-katanya yang berbeda adalah keragaman yang menggambarkan otaknya yang masih mau berpikir. Saya ingat benar kata-kata dosen saya bahwa sebenarnya filsafat adalah olah pikir, olah bahasa. Sehingga kesadaran inilah yang saya paksakan untuk mampu melawan egoku dan berupaya memahami orang lain.

Sekiranya belajar elegi membuat saya merenung dan ingin meresapi maksud baik yang terkandung di dalamnya. Lebih membuat saya berani berpendapat, dan kenyataan keaktifan saya yang bapak tunjukkan kepada orang tua saya akhirnya menjadi pengakuannya bahwa selama ini saya benar mengerjakan tugas kuliah saya diwarnet malam hari dengan alasan mencari murah. Terima kasih Bapak Marsigit atas kesempatan bagi saya untuk berpendapat. Mungkin perkuliahan sudah berakhir, tetapi saya sadar bahwa kesan tentang filsafat ini masih terekam. Meski belum banyak yang dapat saya pahami maksudnya. M

2 komentar:

Dr. Marsigit, M.A mengatakan...

Ervinta..melalui refleksimu, aku sedang menyaksikan dinamika kehidupan dalam dirimu. Hidup adalah dinamis, dinamis adalah hidup. Maka bertawakal-lah menjalani semua apa yang terjadi pada dirimu, temanmu, pacarmu, dan keluargamu. Apa yang engkau perjuangkan sekarang, akan menjadi sangat bermanfaat dikemudian hari. Salam buat Ayah-nda. Amien.

ERVINTA DEWI mengatakan...

terimakasih bapak atas nasehatnya. namti saya sampaikan