Sepanjang perkuliahan filsafat ilmu telah banyak hal yang dibaca dan
dipikirkan, namun apabila kita kaji lebih dalam secara ektensif dan intesif
lagi mengenai filsafat ternyata masih banyak hal yang belum kita pahami, belum
kita baca, belum kita pikirkan dan sebaginya. Hal ini lah yang dinamakan
kesadaran kita akan ruang filsafat, karena filsafat sendiri merupakan sesuatu
yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sama halnya ketika kita akan
mendefinisikan filsafat, mungkin sampai sekarang kita masih belum mampu
mendefinisikan filsafat itu. Masalah yang sering muncul dikatakan oleh bapak
Maarsigit adalah seberapa banyak kah kebutuhan kita untuk mengetahui filsafat.
Misal untuk berfilsafat matematika apakah seorang itu harus purna belajar
matematikanya? Apakah seorang yang akan berfilsafat pendidikan harus purna
memahami tentang pendidikan? Beberapa pertanyaan mengenai masalah di atas
dijelaskan oleh bapak Marsigit layaknya sebuah kontradiksi menurut saya. Namun
demikian, hal tersebut juga membukakan mata saya mengenai perkuliahan
sebelumnya bahwa “apalah daya hidup ini juga adalah kontradiksi”.
Menurut beliau apabila seorang itu hendak berfilsafat, maka tidaklah perlu
dia harus menguasai secara menyeluruh terlebih dahulu. Namun demikian akan
menjadi masalah ketika ilmu yang dikuasainya sedikit, misalnya saja dalam
berfilsafat matematika sendiri akan bermasalah ketika pengetahuan tentang
matematikanya sedikit. Apabila seorang itu sudah purna dalam mempelajari ilmu
bidangnya maka ketika berfilsafat maka filsafatnya akan baik, meskipun demikian
dijelaskan pula ketika ilmu bidang seseorang itu sudah purna maka
fleksibilitasnya menjadi lebih rendah dalam merefleksikan ilmunya. Karenanya
menggapai “cukup” dalam berfilsafat ini adalah hal yang gampang-gampang susah.
Maka dalam mempelajari filsafat sendiri adalah metode hidup yang biasa disebut
dengan hermeneutika. Dalam hal ini menurut beliau mempelajari filsafat dengan
metode hermeneutika seperti lingkaran yang diberi garis vertikal sehingga
mengulang-mengulang-mengulang terus dan juga
dikembangkan-dikembangkan-dikembangkan dan seterusnya bagai spiral. Secara
tersirat dapat ditangkap bahwa dalam berfilsafat berarti kita harus selalu
belajar dan belajar, berlatih dan berlatih dengan segala kerendahan diri.
Senada dengan filsafat Kant yang menurutnya berupa penyadaran atas
kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas
kemampuannya, untuk memberi tempat pada iman dan kepercayaan. Sehingga
senantiasa sebagai manusia kita harus selalu belajar dan rendah hati mengenai
batasan-batasan kemampuan rasio kita. Inilah sebuah bentuk kesadaran filsafat.
Sehingga untuk mempelajari filsafat diperlukanlah pikiran kritis, karena
filsafat sendiri juga merupakan olah pikir yang refleksif.
Adapun ulama atau pendeta yang baik keilmuaan agamanya dan filsafatnya
terkenal, maka dikenal lah namanya dan karyanya dibukukan dikenal sebagai
filsuf-filsuf ternama atas sumbangan pemikirannya. Perkembangan filsafat
dimulai dari zaman Yunani, mereka tertarik mengenai mengenai benda diluar
dirinya, sehingga mereka tertarik untuk mengetahui segala sesuatu itu terbuat
dari apa? Atau unsur-unsur dasar dari benda-benda sekitar, maka munculah
pemikir-pemikir dengan teori-teorinya. Selanjutnya setelah merasa cukup
meskipun belum tuntas kemudian beralihlah ketertarikannya dengan lebih melihat
pada diri manusia itu sendiri. Mulai dipikirkan apa itu bijaksana, baik apa itu
buruk, adil, jujur, dsb. Pada masa inilah muncullah tokoh-tokoh seperti
socrates, bahkan muncullah Protagoras yang mengatakan bahwa ukuran dar segala
sesuatu adala manusia. Pada masa ityu belum ada agama sekitar 3000 SM. Kemudian
waktu berjalan demikian muncul pemikiran tentang penerapan-penerapan pada tatanegara,
sosial dan sebagainya, sehingga Plato membuat buku “Republika” mengenai tata
kenegaraan. Sehingga praktek pertama ketatanegaraan itu pada zaman Yunani. Pada
masa itu pemikiran-pemikiran masih netral tidak terbebani oleh
kepentingan-kepentingan poilitik tertentu.
Mulai abad ke-13 pada perkembangan gereja, seolah-oleh kebenaran itu adalah
atas kuasa atau ijin dari gereja. Salah satu kebenaran saat itu adalah bumi
adalah pusat alam semesta. Sehingga ketika muncul pemikiran baru oleh
Copernicus bahwa matahari sebagai pusat tata surya menjadi sesuatu yang luar
biasa yang dianggap memalukan, menjatuhkan kredibilitas sehingga kalau bisa
pemikir baru itu dikejar, diburu, dibunuh, dan di bakar bukunya. Namun namanya
pemikiran itu larinya secepat angin sehingga tetap saja tidak dapat benar-benar
diberantas. Sampai sekarang secara scientist bahwa mataharilah sebagai pusat
tata surya. Ilmu ini dibuktikan dengan adanya pengembangan sampai manusia bisa
keluar angkasa, dsb.
Revolusi oleh revolusi Copernicus ini sebagai awal dari perkembangan
filsafat modern. Sehingga muncul tokoh-tokoh dan pemikiran Rasionalisme dan
Empirisme. Demikian perkembangannya sehingga ada Empirisme di daratan Eropa dan
Empirisme di daratan Inggris. Demikian pula ada rasionalisme di daratan Eropa
dan rasionalisme didaratan Inggris. Untuk mengkaji dan memahami mengenai dua
aliran filsafat ini maka diperlukan
pikiran kritis karena telah kita ketahui bahwa filsafat adalah olah pikir.
Perkembangan dua pemikiran ini juga berpengaruh pada hubungan antar negara dan
pemikiran dasar dari suatu negara. Sejarah perkembangannya ini berpengaruh pada
perkembangannya sampai sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar