Oleh
Ervinta Astrining Dewi
Mahasiswa
Pendidikan Matematika A PPs UNY 2012
Pada perkuliahan filsafat Senin, 26 November 2012 yang lalu saya menemukan
istilah baru yang tercetus dari dosen saya Bapak prof. Dr. Marsigit yaitu
“Mengintip belajar filsafat”. Kata-kata tersebut nampaknya yang paling membekas
dari perkuliahan beliau kemarin. Mengingat sebelumnya telah beliau sampaikan
bahwa belajar filsafat bisa dari sumber primer yaitu langsung dari pemikirnya,
contohnya dengan membaca buku karya Immanuel Kant. Akan menjadi sumber skunder
ketika saya belajar dari Bapak Marsigit yang membaca dari sumber Immanuel Kant,
namun akan menjadi sumber tertier ketika Bapak Marsigit itu menjelaskan
filsafat Immanuel Kant dari buku nya Plato, dan seteruysnya. Sedangkan kuliah
kemarin istilah baru Beliau kita baru “mengintip” saja dari orang yang belajar
filsafat Imanuel Kant yaitu melihat dari folder laptop dan mendengarkan bapak
Marsigit membaca dan menjelaskan buku Immanuel Kant yang telah diterjemahkan
dalam Bahasa Inggris. Mengapa dikatakan mengintip? Menurut beliau ketika kita
belajar maka seorang akan mengulang-ulang agar paham. Sedangkan ketika seorang
paham berarti orang tersebut sudah dapat memberikan contohnya, sehingga tidak
salah juga ketika perkuliahan kemarin dikatakan baru “mengintip” saja.
Belajar sendiri mempunyai tingkatan, maka dalam ranah filsafat dapat
dikatakan bahwa belajar juga berdimensi. Sewaktu SMA, S1 orang belajar filsafat
biasanya disamakan dengan membaca buku teori-teori filsafat, tokoh-tokoh, dan
sebagainya. Namun untuk tingkatan lebih lanjut belajar dapat memiliki tingkatan
yang lebih karena orang dikatakan paham apabila dirinya sudah dapat memberikan
contoh. Sehingga “mengintip Filsafat Imanuel Kant” di sini bukanlah hal yang
memalukan karena untuk memahami pemikiran filsuf jaman dahulu sudah diketahui
tidak mudah, karena fleksibilitas ilmu kita terkadang sudah tertutup oleh
idealisme dari pengetahuan yang telah kita pelajari sebelumnya, sedangkan
ternyata Filsafat mencakup yang ada dan yang mungkin ada, sehingga pantas
sajalah jika “Mengintip” di sini juga berdimensi, karena ilmu yang kita
pelajari nampaknya masih tidak cukup untuk mendefinisikan filsafat. Meski sudah
banyak sumber yang telah kita baca dan pelajari ternyata masih sedikit apabila
kita mau mencoba menengok lebih dalam dan terus belajar, ternyata masih ada saja
yang belum kita pelajari, belum kita ketahui, dst. Berikut ini beberapa kutipan
Filsafat Immanuel Kant dari buku pertamanya Kritik atas Rasio Murni.
Immanuel Kant merupakan filosof zaman modern yang mencoba mengkritisi
pemikiran yang sedang berkembang pada masanya, yaitu antara pemikiran
Rasionalisme yang berkembang di Jerman dan Empirisme yang berkembang di
Inggris. Keduanya mengklaim bahwa masing-masing merupakan yang paling benar
dalam epistimologi. Nmaun Immanuel Kant mengambil jarak pada keduanya dan
filsafatnya lebih mengkaji pada batas-batas kemampuan rasio manusia sehingga
filsafat Imanuel Kant disebut kritisisme
yaitu penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori rene Descartes dan Empirisme
yang dipelopori oleh David Hume.
Imanuel Kant menyatakan rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang
berada dalam jangkauan ruang dan waktu, sementara sesuatu yang berada di luar
jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Sehingga
lebih cenderung memberikan batas-batas kemampuan rasio secara obyektif untuk
memberikan tempat bagi iman dan kepercayaan. Dalam bukunya The Critique of pure Reason / kritik atas Rasio Murni, Kant
menunjukkan bahwa rasio mampu menganalisa, karena rasio memiliki aspek apriori,
yakni sesuatu yang diandaikan ada. Aspek apriori tersebut adalah ruang, waktu
dan dua belas aspek rasio yang antara lain berupa kuantitas, kualitas, dan
kausalitas. Semua itu disebut apriori, karena hanya bisa diketahui secara
intuitif, bukan melalui pengalaman inderawi. Misal, angka 0,1,2,3, dst hanyalah
perwujudan empiris dari pengetahuan intuitif manusia tentang kuantitas.
Adapun proporsi yang sering disebut oleh Imanuel Kant adalah sintetik dan
analitik. Analitik merupakan identitas dari hal yang ada dan mungkin ada
sehingga dapat dituliskan sebagai subjek = predikat. Masalah analitik sulit
sekali diberikan contohnya namun hal tersebut menunjukkan bahwa sesuatu itu
benar hanya ketika dipikirkan dan akan salah ketika sudah dituliskan, sehingga
jenis pengetahuan ini menurut Kant sulit untuk memahami realitas. Sedangkan
sintetik merupakan kekontradiksian sehingga subjek tidak sama dengan predikat,
yaitu jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai
subjek. Contoh sintetik adalah “suhu badan normal adalah 37oC”.
Subjek dari pernyataan tersebut adalah suhu badan normal sedangkan predikatnya
telah tersintesiskan sehingga terbentuk suatu proporsi baru. Proporsi merupakan
hal yang baru sehingga belum diketahui kebenarannya. Agar proporsi tersebut
dapat diketahui kebenarannya maka harus diketahui dengan pembuktian dan
pengalaman.
Selain itu terdapat dua kebenaran menurut Imanuel Kant yaitu a priori dan a
posteriori. Kebenaran apriori merupakan suatu keyakinan yang timbul berdasarkan
suatu pendapat/ definisi yang sudah ada dan sudah dinilai benar oleh semua
orang. Contoh dalam matematika 4+5=9. Sedangkan kebenaran a posteriori yang
sering disebut kebenaran berdasarkan pengalaman. Contohnya: Kalau tidak mandi
badan akan gatal. Pada kebenaran aposteriori ini predikatnya tidak lebih dari
fakta pengalaman, ada orang yang yang tidak mandi tapi badannya tidak gatal.
Karenanya Kant mengajarkan jenis putusan lain yaitu berupa sintetis apriori,
yaitu jenis putusan yang akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar